PERANAN korporasi sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dan dunia usaha. Korporasi sebagai subjek hukum dan pembangunan, tidak hanya berhak dalam pencapaian tujuan korporasi, tetapi juga mempunyai kewajiban mematuhi peraturan tertentu di bidang ekonomi yang dikeluarkan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, membatasi pertanggungjawaban pemegang saham yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) yaitu Pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki. Pemegang saham hanya bertanggung jawab terbatas pada nilai nominal saham yang dimiliki.
Berdasarkan pemahaman tentang pemegang saham tersebut, pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah bagaimana jika para pemegang saham ternyata aktif memengaruhi pengurus untuk melakukan tindak pidana yang melibatkan perseroan? Bagaimana jika beberapa pemegang saham dominan dalam memengaruhi kebijakan korporasi yang diambil oleh pengurus?
Dalam buku yang diterbitkan oleh Penerbit Arruzz Media ini dianalisis mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subjek hukum pidana menurut hukum positip Indonesia. Selain itu juga dianalisis mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pemegang saham korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, serta mengenai sistem pertanggungjawaban pidana terhadap pemegang saham korporasi yang berlaku dan idealnya diterapkan di masa yang akan datang.
Diharapkan buku ini dapat memberikan manfaat teoritis akademis yang berguna bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum pidana. Selain itu, diharapkan dari buku ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan berkaitan dengan pengaturan sanksi pidana terhadap kejahatan korporasi yang dilakukan oleh pemegang saham (pada khususnya) atau yang berkaitan dengan penyempurnaan rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas menegakkan hukum.
Doktrin-doktrin Pidana Korporasi
Menurut Ari Yusuf Amir, korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana karena Undang-undang di luar KUHP menyatakan korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Pendapat Ari tersebut didasari dengan teori pelaku fungsional, dengan mengacu Pasal 118 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Pelaku fungsional dijabarkan sebagai “dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha”.
Dalam buku ini dibahas dengan detail beberapa doktrin dalam hukum bisnis terkait pertanggungjawaban pidana korporasi. Selain doktrin hukum bisnis, juga dikaitkan dengan doktrin-doktrin hukum pidana, sehingga tulisan ini bisa disebut sebagai upaya mensinergikan dua pendekatan hukum.
Pidana Untuk Pemegang Saham Koorporasi
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 3 ayat (1) menganut asas separate corporate personality yang memberi tabir atau batas pemegang saham dengan perseroan terbatas sebagai legal entity tersendiri. Namun demikian, Undang-undang Perseroan Terbatas juga membatasi kekuasaan pemegang saham. Pembatasan itu tertuang dalam Pasal 3 ayat (2), menurut Ari, imunitas pemegang saham dapat berubah menjadi kondisi piercing the corporate veil atau hilangnya imunitas, sehingga pemegang saham dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, apabila terbukti tindakan perusahaan dipengaruhi oleh pemegang saham. Kondisi seperti itu dapat terjadi apabila pemegang saham menjadi alter ego, dimana pemegang saham menganggap perusahaan sebagai miliknya sendiri.
Hal yang menarik dari buku ini adalah, Ari Yusuf Amir menempatkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 dapat disebut sebagai Undang-undang induk di bidang korporasi. Pasal 154Undang-undang Perseroan Terbatas mengatur bahwa bagi perseroan terbuka berlaku ketentuan undang-undang ini. Konseskuensi dari ketentuan Pasal 154 tersebut maka semua undang-undang yang di dalamnya mengatur tentang korporasi mutatis mutandis tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.
Ari berpendapat perlunya merevisi semua undang-undang yang di dalamnya mengatur tentang korporasi, dengan memasukkan doktrin piercing the corporate veil dan doktrin alter ego kedalam perundang-undangan terkait korporasi, sehingga memberi peluang bagi pemegang saham yang melampaui kewenangannya (ultra vires) dan menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana, dapat dimintai pertanggungjawaban.
Selain itu, bagi pemegang saham yang melakukan tindak pidana korporasi perlu diterapkan pidana tambahan berupa larangan (selamanya atau dalam jangka waktu tertentu) menjadi pemegang saham di korporasi lain. Dan korporasi yang melakukan tindak pidana dan/atau digunakan oleh pemegang saham untuk melakukan perbuatan pidana, maka dapat pidana tambahan berupa:Kewajiban menyerahkan keuntungan yang diperoleh selama masa korporasi tersebut melakukan tindak pidana, memperbaiki segala kerusakan yang ditimbulkan, menyita seluruh aset korporasi untuk negara, dilarang melakukan kegiatan tertentu baiksementara maupun selamanya, menghentikan kegiatan korporasi atau pencabutan izin baik dalam jangka waktu tertentu maupun selamanya.
Patut diteladani, Dr Ari Yusuf Amir yang alumnus FH UII ini adalah satu dari segelintir praktisi hukum yang sekaligus intelektual. Sebagai praktisi hukum, dia juga membangun kantor advokat dengan manajemen yang profesional. Perjalanan profesionalitas kantor advokat miliknya telah dibukukan, serta menginspirasi banyak advokat ketika hendak mendirikan kantor advokat yang bukan sekadar tempat transit kerja maupun menerima kehadiran dan kepergian klien. (Met)