DUA hari ini ramai di linimasa media sosial saya soal penetapan Hari Keris Nasional tanggal 19 April oleh Menteri Kebudayaan RI dalam acara Brawijayan Mondiacult 2025, di Universitas Brawijaya. Sebuah langkah bagus yang perlu diapresiasi setelah 20 tahun proklamasi Keris Indonesia oleh UNESCO.
Namun sayangnya, dalam penetapan ini saya melihat minim dialog yang dilakukan oleh Menteri Kebudayaan dengan semua pemangku kepentingan yang juga memperjuangkan soal Hari Keris sejak proklamasi keris Indonesia oleh UNESCO tanggal 25 November 2005, dan perubahannya dalam daftar representatif pada tanggal 4 November 2008.
BACA JUGA: LBH Nusa Menempati Kantor Baru di Jalan Kabupaten Nomor 99 Sleman
Saat ini, ada 2 organisasi keris nasional yang sama-sama memperjuangkan gagasan hari keris nasional, Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) dan Serikat Nasional Pelestari Tosan Aji Nusantara (Senapati Nusantara).
SNKI memperjuangkan tanggal 19 April sebagai Hari Keris Nasional karena merupakan momentum Kongres I Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia SNKI di Surakarta ("Menbud Fadli Zon Canangkan 19 April sebagai Hari Keris Nasional", detiknews, 20/4/2025). Sementara Senapati Nusantara memperjuangkan 25 November sebagai hari keris dengan mengambil semangat proklamasi dan titik awal pengakuan internasional oleh UNESCO atas keris Indonesia.
BACA JUGA: Dr (C) Intan Nur Rahmawanti: Konsumen Perlu Kritis Bertransaksi
Perdebatan mengenai penetapan tanggal hari keris nasional antara kedua organisasi ini bukan kali ini saja terjadi, sudah berlangsung hampir sewindu lamanya. Keduanya juga resmi diakui negara sebagai organisasi berbadan hukum yang telah disahkan negara. Keduanya juga punya basis dukungan dan legitimasi, satu legitimasi institusional dan satunya, legitimasi akar rumput, masyarakat perkerisan. Sama-sama besar, sama-sama kuat, sama-sama memperjuangkan dan memajukan keris Indonesia. Saking cintanya, gerakan satu dan lainnya saling dukung dan didukung, meski terkadang dengan cara berbeda saling mendukungnya.
BACA JUGA: Tentang RA Kartini, Ini Komentar Kapolres AKBP Novita Eka Sari
Maka, sebagai penyelenggara negara yang menangani urusan kebudayaan, Menteri Kebudayaan yang juga ketua umum SNKI, Pak Fadli Zon, perlu bertindak sebagai wasit yang bisa merangkul semua kalangan, baik yang satu organisasi dengannya, maupun yang berbeda organisasi.
Pak Menteri sekarang adalah menteri yang mengurusi kebudayaan di Indonesia dan orang-orangnya, entah itu satu organisasi dengannya atau tidak. Pak Menteri sekarang adl milik semua orang, milik semua lembaga yang memajukan budaya, bukan lagi milik satu atau beberapa organisasi saja.
BACA JUGA: Gugatan Perselisihan Perburuhan Dikabulkan, Iroel Terima Uang Kompensasi
Menempatkan diri pada situasi yang menganyomi, melindungi, memberikan rasa keadilan bagi semua orang, dan organisasi bisa jadi tidak mudah. Namun saya percaya pak Menteri mampu melakukan itu, menjadi payung yang menaungi semua kalangan dan golongan. Tentu saja demi majunya kebudayaan Indonesia.
BACA JUGA: Syawalan Trah HB VII, Prof Edy: Paling Indah Adalah Saling Memaafkan
Jika penetapan hari keris nasional oleh Menteri Kebudayaan yang sudah dilakukan kemarin digadang sebagai momentum bersama untuk memajukan keris Indonesia, saya jadi ragu serta pesimis ini terjadi bila penetapan ini dirasa sepihak dilakukan tanpa mengajak rembugan organisasi lain.
BACA JUGA: Eksistensi Kopi Merapi Mendapat Perhatian Serius Pemkab
Menetapkan hari keris bukan sekadar perayaan bahwa keris telah diakui menjadi warisan budaya takbenda oleh UNESCO, lantas kita merayakannya dengan membuatkan hari khusus yang diperingati. Namun lebih dari itu, hari keris merupakan hari yang disepakati bersama dan dirayakan bersama oleh semua insan yang mencintai keris Indonesia. Semangatnya adalah kesatuan dan persatuan. Semua menyatu, disatukan.
BACA JUGA: Peringatan Hari Jadi ke-78 Tirtomartani Berlangsung Meriah
Ibaratnya sama seperti orang membuat sebilah keris, minimal ada bahan besi, baja, nikel yang ditempa dan disatukan agar tercipta sebilah keris. Bahan-bahan pembuatan keris tadi ibarat organisasi dan masyarakat keris. Empu atau pande yang menempanya adalah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kebudayaan. Bila tidak disatukan, mustahil ketiga bahan tersebut bersatu dan menjadi satu kekuatan. Maka tugas Kementerian Kebudayaan adalah menyatukan semua organisasi, menyatukan beragam kepentingan demi mewujudkan persatuan dan memajukan kebudayaan nasional.
BACA JUGA: Polisi Tangkap Dua Buron Pembacokan di SPBU Kretek Bantul
Inilah analoginya, bila penetapan dilakukan tanpa pelibatan organisasi dan memperhatikan suara masyarakat, maka persatuan juga semakin mustahil terwujud. Saya percaya Pak Menteri akan bertindak bijak, seperti kita belajar bijak dari setiap filosofi keris kita. Itulah sebabnya, perlu semua organisasi, pecinta keris untuk duduk bersama dan merumuskan jalan tengahnya. Sebelum itu, mohon jangan ditetapkan hari kerisnya. Sabar Pak. Masih ada waktu untuk merevisi statement penetapan itu. Caranya bagaimana?
BACA JUGA: Pengungkapan Dugaan Korupsi di Diskominfo Sleman Terus Bergulir
Sebagai pemegang kuasa di Kementerian yang menangani urusan kebudayaan, mengundang organisasi dan orang-orang yang memperjuangkan keris bukan hal yang sulit dilakukan. Sumber daya ada, kuasa ada, tinggal dilakukan atau tidak. Orang budaya itu senang dimanusiakan, senang diperhatikan, senang diajak rembugan bersama. Dudukkan bersama dua organisasi besar ini. Duduk bareng, ngobrol bareng, ditengahi oleh Pak Menteri. Hasilnya disepakati bersama. Syukur ada jalan tengah dari tanggal penetapan tersebut.
BACA JUGA: KBIHU Hajar Aswad Siap Berangkatkan Jemaah Haji 2025
Bila itu dilakukan, Pak Menteri akan dikenang selamanya sebagai Menteri yang menggoalkan hari keris nasional yang didukung semua orang, semua pihak, bukan sepihak saja. Namun jika hal tersebut tidak dilakukan, saya ragu, semangat kebersamaan dan persatuan yang dicita citakan hanyalah angan semata. (Penulis: Oleh: Unggul Sudrajat adalah Alumni FIB UGM, Pemilik Galeri Omah Nara)